Pendahuluan
Diskursus mengenai hak pemajakan yang berlaku di suatu jurisdiksi apakah menganut world wide atau territorial semakin hangat dalam konteks investasi lintas jurisdiksi karena hal ini setidaknya akan berhubungan dengan 2 hal, yaitu penerimaan negara dan competitiveness suatu negara dalam pasar global. Diskursus mengenai hak pemajakan akan semakin penting ketiga transaksi antar negara dilakukan dengan negara berkembang, dimana kelompok negara ini memerlukan investasi asing untuk mendorong kegiatan perekonomiannya. Argumentasi yang paling sering digunakan mengenai pengadopsian territorial adalah diharapkan suatu negara semakin menarik dalam hal repatriasi modal dalam kerangka investasi kembali di negara asal.
Sejauh mana competitiveness suatu negara dipengaruhi oleh hak pemajakan yang menganut territorial, perlu dibahas dengan mendalam. Beberapa penelitian empiris dengan model-model ekonomi mengenai seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh pelaku usaha terutama setelah shifting prinsip pemajakan ini, hasil estimasi mengatakan bahwa tidak cukup signifikan (Fleming, 2008; Atwood, 2013;), meskipun publikasi studi yang dilakukan IMF pada tahun 2013 yang berupaya meyakinkan terutama negara berkembang untuk melakukan pergeseran dari worldwide menjadi territorial dengan argumentasi kebutuhan modal yang tinggi bagi negara berkembang serta pemajakan dengan asas territorial juga mengakibatkan efek spillover.
Worldwide Income dan Territorial
Dalam artikel ini, perbedaan konsep worldwide dan territorial bukan merupakan pokok bahasan sentral, namun hanya mengulas secara singkat mengenai kedua konsep tersebut. Pengenaan pajak dengan worldwide pada umumnya dianut oleh negara-negara yang menganut asas domisili atau resident. Asas ini mengandung makna bahwa negara akan mengenakan pajak atau suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan yang berkedudukan di negara tersebut. Semua jenis penghasilan dijadikan obyek pajak dengan tidak melihat dari mana asal penghasilan apakah dari dalam negeri atau dari luar negeri. Dalam kaitannya akan hal ini, tidak dipersoalkan dari mana asal penghasilan yang akan dikenakan pajak (Rosdiana, 2012).
Bagi Wajib Pajak berbentuk Badan, pengertian tempat kedudukan sama artinya dengan tempat tinggal bagi Wajib Pajak Orang Pribadi. Kriteria residen bagi badan mengandung pengertian sebagai incorporation, yaitu badan tersebut menjadi subyek pajak di negara dimana badan bersangkutan didirikan atau hukum negara mana yang berlaku atas badan yang bersangkutan. Kriteria ini dipersamakan dengan yurisdiksi kewarganegaraan (Mansury, 1998).
Negara yang menganut asas sumber akan cenderung mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diterima atau diperoleh oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut. Hal ini disebabkan yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah obyek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu (Zakaria, 2005).
Dengan pemajakan yang bersifat worldwide, mekanisme kredit pajak yang dibayarkan di luar negeri baik sebagaian maupun seluruhnya menjadi relevan. Hal ini akan berbeda dengan asas territorial karena negara asal tidak mengenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari luar negeri baik dari cabang yang berada di luar negeri (active income) maupun atas dividen (passive income). Jadi, bagi penghasilan yang berasal dari luar negeri resident suatu jurisdiksi hanya akan dikenakan pajak di negara sumbernya. Tren yang terjadi saat ini di negara-negara OECD saat ini adalah pergeseran dari worldwide menjadi territorial (Fleming, 2008). Sejak 2009 tren ini semakin menguat. Namun, dalam prakteknya, tidak ada negara yang menjalankan secara murni asas territorial maupun worldwide (Fleming 2008; Makoto,2013; Rosdiana, 2013). Asas territorial berpenatrasi di negara-negara berikut:
Tabel 1
Distribusi Negara OECD dengan Asas Territorial dan Worldwide
Beberapa Perdebatan atas Pergeseran Worldwide Menjadi Territorial
Sejak 2009, tren mengubah asas pemajakan semakin marak di negara-negara maju, setidaknya Jepang, Inggris dan Amerika Serikat telah mengimplementasikannya serta berbagai penelitian menyebutkan tujuan utama repatriasi penghasilan yang diperoleh dari luar negeri serta simplifikasi administrasi perpajakan. Namun, pengimplementasikan asas tersebut bahkan di negara maju terutama di negara-negara berkembang bukan tidak menuai kritik.
Bahkan beberapa literature Fleming (2008), Drabin (2013) mengkritik perubahan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dimana yang seharusnya dilakukan bukan menggeser ke asas territorial, melainkan melaksanakan worldwide dengan desain yang tepat. Bahkan disebutkan bahwa distorsi yang ditimbulkan oleh sistem ini bagi Amerika Serikat lebih tinggi daripada tujuan negara untuk menciptakan netralitas (Shay, 2008). Mengutip pendapat Fleming (2008) “ if the question is whether the current U.S. international tax system should be replaced with a well-designed territorial approach, we believe the answer is that replacement should occur. This is, however, the correct answer to the wrong question, the appropriate inquiry is how well does a well-designed worldwide system measure up against a well-designed exemption regime”.
Dalam tataran implementasi atau praktik lapangan, perdebatan yang umumnya mengemuka pada umumnya mengenai (i) apakah memang benar dengan menerapkan asas territorial akan mengurangkan hanya penghasilan, beban pajak serta kerugian yang berasal dari luar negeri dan sama sekali tidak akan memperhitungkannya dengan penghasilan dari dalam negeri secara murni (ii) kemampuan administasi otoritas pajak untuk memastikan asal penghasilan residentnya serta memilah sesuai dengan asas yang dianut. Hal ini membutuhkan perangkat administrasi yang memadai, baik instansi, SDM serta sarana/teknologi terutama dalam hal alokasi biaya, regulasi feasible mengenai transfer pricing serta sistem yang handal untuk mengawasinya. Implikasi dari pergeseran asas ini tentu akan memerlukan sumber daya yang cukup besar.
Apakah perubahan (shifting) dari asas pemajakan worldwide yang umumnya diterapkan di negara berkembang menjadi territorial mampu menarik investasi merupakan hal yang perlu ditelaah lebih lanjut. Hal ini pada umumnya didasari dengan prinsip klasik ekonomi dimana pada umumnya pemilik modal menginginkan adanya efisiensi dalam pemilihan lokasi investasi. Namun, dalam konteks ini juga perlu dipikirkan bahwa setidaknya, untuk menelusuri hubungan kedua variable tersebut adalah terpenuhinya suatu pra kondisi yaitu apakah tariff pajak efektif (effective tax rate) di negara tujuan (host country) secara umum lebih rendah dari di negara asal (home country) dibandingkan dengan penghasilan yang akan diperoleh di negara tujuan.
Dalam menentukan apakah suatu negara sebaiknya menganut territorial atau worldwide sebaiknya mempertimbangkan beberapa hal berikut: (i) tax haven finance subsidiary dimana dalam konsep territorial, prinsip distorsi telah inherent didalamnya (ii) aggressive transfer pricing, dimana negara dengan sistem ini secara tidak langsung mendorong praktik transfer pricing yang dilakukan oleh perusahaan induk kepada subsidiarynya, misalnya melalui undercharge atas barang, jasa maupun pinjaman kepada subsidiary yang berada di negara yang beban pajaknya lebih rendah dan overcharge kepada subsidiary atas penggunaan intangible asset (iii) potensi transformasi bunga dan royalti menjadi dividen; atas pembayaran bunga dari luar negeri.
Berdasarkan penelitian empiris dengan model ekonomi yang dilakukan oleh Makoto pada tahun 2013 mengenai apakah pergeseran dari worldwide menjadi territorial yang diimplementasikan sejak 2009 mampu menarik repatriasi modal atau secara spesifik dividen belum dapat disimpulkan dengan jelas. Selanjutnya, dalam penelitian tersebut, Makoto menyebutkan bahwa bagi entitas yang tidak melakukan repatriasi dividen ketika Jepang masih memberlakukan prinsip worldwide tidak serta merta melakukan repatriasi dividen setelah pergeseran pengenaan pajak menjadi territorial. Entitas yang melakukan repatriasi dividen ketika pemberlakukan territorial yang terdeteksi justru adalah entitas yang juga melakukan repatritasi dividen ketika Jepang masih menganut worldwide.
Bagaimana dengan Indonesia?[1]
Usulan mengenai perubahan asas pemungutan pajak worldwide menjadi territorial sudah pernah diusulkan dalam MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) pada butir ke empat disebutkan bahwa “pajak dikenakan terhadap obyek pajak di Indonesia dan bukan terhadap subyek pajak Indonesia (Perubahan konsep dari Nasional menjadi Domestik) atau dari konsep GNP menjadi konsep GDP.
Jika dikaitkan dengan konteks hingar bingar politik, terutama dalam konteks pengampunan pajak yang cukup hangat saat ini, permasalahan pemungutan pajak, terutama lebih jauh jika berbicara mengenai konsep worldwide dan territorial perlu dibahas dengan sangat hati-hati. Jika spirit yang terkandung dalam perubahan dari worldwide menjadi territorial semata-mata untuk menarik investasi asing dari luar negeri atau dengan bahasa lebih sopan untuk menarik repatriasi modal milik residen Indonesia dari luar negeri untuk kembali, perlu dipikirkan apakah langkah ini sudah tepat. Terutama jika langkah ini menjadi paket dari pengampunan pajak yang kini tengah bergulir.
Sejarah perpajakan Indonesia mencatat bahwa sistem Pajak Penghasilan Indonesia menganut jurisdiksi pemajakan domisili (domicile principle) seperti yang terkandung dalam Pasal 4 UU PPh yang mengadopsi worldwide dan global taxation. Hingga saat ini, konsep ini pada dasarnya masih relevan dalam menegakkan keadilan serta ketahanan penerimaan negara. Penggunaan asas territorial sejatinya menunjukkan adanya keberpihakan kepada investor yang sebagian besar adalah high income class yang menanamkan modalnya di luar negeri dan yang selama ini menyimpan uangnya di luar negeri. Dalam konteks ekonomi, dapat saja digunakan justifikasi bahwa investasi akan lebih efisien dengan kemudahan yang ditawarkan serta nantinya investasi akan membawa kebermanfaatan secara makro.
Dalam konteks keadilan, pemajakan dengan asas territorial sangat berpotensi menciderai keadilan pemungutan pajak. Asas ini mengabaikan prinsip pemungutan pajak yang seharusnya memenuhi keadilan vertikal, equat treatment for the equals (wajib pajak yang dalam kondisi ekonomi sama diperlakukan sama) dan keadilan horizontal, unequal treatment for unequal (wajib pajak dengan tambahan kemampuan ekonomis berbeda diperlakukan tidak sama). Pengertian equal dan unequal dalam konteks ini adalah ‘seluruh tambahan kemampuan ekonomis netto’ yang oleh Musgrave (1989) disebut, “ term used to describe the equitable tax treatment of person with the same level of income or capital who differ in the other relevant respects, the term used to the equitable different treatment of tax payer who have different level of income and/or capital”.
Selain itu, perubahan sistem PPh yang mengarah pada asas territorial akan membatasi kedaulatan dan kewenagan negara dalam memungut pajak. Sementara, pajak merupakan salah satu bentuk dari representasi kedaulatan negara dan bentuk relasi intim antara negara dan rakyatnya. Mengutip pendapat Melo (2000) dikatakan bahwa “taxation and the sovereign’s absolute rights to tax its subject have their origin in antiquity. The right to tax forms one of the most intimate relationships between the sovereign and its subjects”.
Bagi Indonesia, saat ini lebih baik memikirkan bagaimana menyikapi dan mendesain kebijakan pajak atas derasnya arus globalisasi dan kecanggihan teknologi yang menyebabkan transaksi bisnis lintas negara seringkali sulit terdeteksi. Bahkan, yang terdeteksi sekalipun sulit untuk dipajaki. Kondisi ini tentu menimbulkan potensi kehilangan penerimaan negara.
Demikian, pemikiran mengenai perubahan asas pemajakan PPh dari worldwide menjadi territorial bukan merupakan solusi yang tepat karena cukup berpotensi memperlebar ketidakadilan dalam pemungutan pajak. Perlu ditekankan kembali bahwa pajak terutama Pajak Penghasilan merupakan instrument yang paling memungkinkan negara untuk mendistribusikan beban pajak secara adil, sesuai ability to pay masing-masing pembayar pajak.
Kesimpulan
Perubahan prinsip pengenaan pajak dari worldwide menjadi territorial dengan argumentasi repatriasi dana ke dalam negeri bukanlah pilihan kebijakan yang tepat. Bahkan di negara maju sekalipun pengimplementasiannya mendatangkan kritik yang cukup tajam. Penerapan territorial khususnya di negara berkembang justru akan menciderai prinsip keadilan dan membatasi kedaulatan negara dalam mengenakan pajak. Untuk menggali potensi penerimaan pajak, sebaiknya pembuat kebijakan memikirkan bagaimana menyikapi dan mendesain kebijakan pajak atas derasnya arus globalisasi dan kecanggihan teknologi yang menyebabkan transaksi bisnis lintas negara sering kali sulit terdeteksi. Hal ini setidaknya akan lebih adil daripada serta merta mengubah prinsip pengenaan pajak dari worldwide menjadi territorial.
Referensi
- Drabkin Eric (2013) Implications of a Switch to a Territorial Tax System in the United States: A Critical Comparison to the Current System, Working Paper Berkeley Research Group.
- Fleming Clifton J., (2008) Some Perspective from the United States on the Worldwide Taxation vs. Territorial Taxation Debate, Journal of the Australasian Tax Teachers Association Vol.3. No.2.
- Makoto Hasegawa, (2013) The Effect of Moving to a Territorial Tax System on Profit Repatriations: Evidence from Japan, The Research Institute of Economy, Trade and Industry Paper Series May 2013.
- Matheson Thornton, (2013) Territorial vs. Worldwide Corporate Taxation: Implications for Developing Countries, IMF Working Paper Series WP/13/205.
- Mansury (1998), Perpajakan Internasional Berdasarkan Undang-undang Domestik Indonesia, Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan.
- Rosdiana Haula (2013) Spektrum Teori Perpajakan untuk Pembangunan Sistem Perpajakan Indonesia Menuju Persaingan Pajak Global, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kebijakan Pajak Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Depok, 12 Juni 2013, Zakaria Jaja (2005) Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda serta Penerapannya di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
[1] Pembahasan ini merupakan diskusi dengan dan dikutip dari naskah akademik pengukuhan Guru Besar Prof. Haula Rosdiana, Universitas Indonesia Juni 2013. Penulis mengucapkan terima kasih.